twitter



Something Behind You

12-07-2012

            “Keadaanmu sudah mulai membaik Nona Kara, mungkin beberapa hari lagi kamu sudah boleh pulang,” kata dokter  Dahlia padaku sembari memperbaiki letak stetoskopnya.
            “Oh ya dok? Apa sekarang saya boleh jalan-jalan keluar sebentar dok?” tanyaku girang. Maklum saja, beberapa hari yang lalu jantungku selesai dioperasi. Lebih tepatnya jatungku baru saja dicangkok digantikan oleh jantung lain. Entahlah apa namanya, yang penting sekarang aku sudah sembuh total. Sudah tidak akan merepotkan banyak orang lagi. Hari-hariku akan kembali ceria seperti dahulu kala.
            “Tentu saja, tapi jangan jauh-jauh ya, ingat keadaanmu belum pulih total, kamu dapat menggunakan kursi roda untuk sementara waktu, jangan sampai kelelahan ya...” sahut dokter Dahlia dengan senyum lebar sehingga gigi putihnya terlihat.
            “Terimakasih dokter...” aku tersenyum riang. Segera aku dibantu dokter Dahlia menaiki kursi roda, sedangkan suster Marsha yang sedari tadi berdiri di samping dokter Dahlia memanduku menggunakan kursi roda ini. Bersama suster Marsha, aku berjalan-jalan mengelilingi setiap sudut rumah sakit ini. Suster Marsha lah yang selama ini berada disampingku ketika saat-saat aku dioperasi. Dia juga lah yang menyemangatiku untuk melakukan operasi cangkok jantung ini. Suster Marsha ialah pribadi yang luar biasa menurutku selain ibuku.
            “Suster, saya boleh nanya sesuatu enggak?” tanyaku tiba-tiba saat kami sampai di kolam ikan sudut rumah sakit.
            “Boleh, tanya apa?” sahut suster Marsha ramah.
            “Siapa yang mendonorkan jantung yang ada di tubuhku ini sus?” tanyaku dengan tampang yang serius.
            “Pendonornya ialah perempuan yang luar biasa, seperti kamu, namun sayang umurnya tak sepanjang umurmu, dia kecelakaan dan sebelumnya dia berpesan bahwa kalau dia meninggal jantungnya akan didonorkan.”
            “Boleh tau siapa namanya?” tanyaku penuh penasaran.
            “Ehem...” tiba-tiba dokter Karel sudah ada di samping kami.
            “Eh dokter Karel, ngaget-ngagetin aja..” kataku dengan senyum malu-malu. Ya, dokter Karel ialah asistennya dokter Dahlia yang juga terlibat dalam pencakokan jantungku. Lebih tepatnya, dia adalah dokter praktek atau co-ass yang sedang magang di rumah sakit ini. Dokter Karel adalah dokter praktek yang paling ganteng dan ramah menurutku. Sebenarnya aku menyukainya sejak pertama kali bertemu. Namun, gosip yang beredar dia sudah memiliki pacar. Jadi, lebih baik perasaan itu aku kubur dalam-dalam daripada nantinya aku yang tersakiti.
            “Ciyeeeh yang sudah sembuh...” kata dokter karel ramah dengan senyumnya yang paling manis sedunia.
            Aku tersenyum malu-malu, hatiku serasa ditumbuhi beribu-ribu bunga. Tapi, segera kucabut bunga-bunga itu, aku tidak mau berharap dengan pacar orang.
            “Kara, maaf ya, saya tinggal dulu, ada pasien, kamu sama dokter Karel dulu ya?” kata suster Marsha padaku.
            Aku menangguk sambil tersenyum. Sementara suster Marsha pun berlalu. Kini, hanya tinggal aku dan Dokter Karel.
            “Dokter, makasih ya...” kataku lirih sembari malu-malu kucing.
            “Makasih buat apa?” sahut dokter Karel sembari mendorong kursi rodaku berjalan-jalan.
            “Makasih buat semuanya...”
            “Haha, sama-sama Ra, kamu juga yang buat aku semangat menjalani magang ini...”
            “Benarkah dok?”
            “Iya... si cantik Kara yang ada di depanku ini yang buat aku semangat menjadi dokter..” dokter Karel menusap-usap rambutku.
            Aku tersenyum. Andai saja si dokter Karel belum mempunyai kekasih, mungkin sudah aku gebet, hahahaha.
            Kami pun bercanda tawa sembari menikmati pemandangan rumah sakit ini. Sesekali dokter Karel mengacak-acak rambutku.
            Dari belakang, seuatu mengamati dua insan yang berbeda jenis itu. Rambutnya panjang sampai punggung dan mengenakan baju putih seperti gamis. Tanpa kaki.
***
            Hujan membasahi dunia. Ya, termasuk rumah sakit ini. Aku pengen banget makan es krim. Kulihat jam dinding di kamarku menunjukkan pukul tujuh malam. Ibuku belum pulang dari kantor. Terpaksa kuberanikan ke minimarket rumah sakit ini sendiri dan tanpa kursi roda.
            Saat kulewati koridor rumah sakit ini, bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Aku merinding. Suasana sepi sekali. Heran. Padahal baru jam tujuh malam. Hanya ada satu dua orang saja yang lewat.
            Sesampainya di minimarket, aku langsung membeli es krim. Setelah itu, kuputuskan untuk langsung kembali ke kamar. Aku harus melewati jalan yang tadi lagi. Ah, tidak apa-apa. Namun, sesuatu yang aneh kembali kurasakan. Seseorang seperti membuntutiku. Saat kutengok ke belakang, aku tak melihat apa-apa. Tapi perasaanku lain dari biasanya. Jantungku berdetak kencang. Bulu kudukku berdiri. Oke, aku langsung lari menuju kamarku.
***
Malam ini, aku berjalan sendiri tanpa ditemani kursi roda menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamarku ini. Kulihat ibuku sedang ketiduran di sofa. Mungkin beliau kelelahan karena sejak pagi bekerja dan mengurusiku.
            Pelan-pelan kubuka pintu kamar mandi. Aku tak mau ibuku mendengar suara pintu dan terbangun. Aku masuk kamar mandi dan mencuci muka. Tiba-tiba aku tertegun saat kubuka keran wastafel yang keluar bukan air melainkan darah. Mungkin aku salah lihat, segera kukucek-kucek mataku. Tetap darah. Dan saat kulihat kaca di depanku.....
            “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrggggttttt!!!!!!!!” teriakku.
            “Kara... Kara... kamu kenapa? Kamu mimpi buruk?” tanya ibuku tepat di depan wajahku.
           Ternyata aku hanya bermimpi. Aku menghembuskan nafasku pelan-pelan. Jantungku masih berdetak kencang. Mimpi itu seperti kenyataan. Di kaca itu... ada perempuan dengan wajah rusak penuh luka berambut panjang. Mengenakan daster putih seperti gamis. Dan dari belakang seperti ingin mencekekku.
            “Kara?” tangan ibuku melambai-lambai di depan wajahku.
            “Aku takut ibu....” akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutku.
            “Ada apa nak? Kamu mimpi apa?” tanya ibuku penasaran.
            Aku tak bisa bercerita apa-apa pada ibuku. Akhirnya kupeluk tubuh ibuku. Terlihat didepan mataku jam menunjukkan pukul 00.00.
***
            Pagi ini, di atas meja sudah tergeletak bunga mawar merah. Aku tak tahu pengirimnya. Ibu juga tak tahu. Ketika ibu sudah berangkat bekerja, aku menyentuh mawar merah itu. Di tangkainya tertera kertas bertuliskan seperti ini: kutunggu kamu di kolam ikan rumah sakit ini :D semangat...
            Aku pun berjalan menuju kolam ikan dengan kursi rodaku. Seseorang sudah berdiri disana. Aku seperti mengenal sosok itu. Ya, dokter Karel. Tapi yang tak kumengerti, mengapa dokter Karel mengirimku bunga mawar merah ini.
            “Dokter...” sapaku lirih.
            “Hei Kara, gimana tidurnya nyenyak?” tanyanya dengan wajah yang berseri-seri.
            Aku tersenyum lalu berucap, “Dokter yang mengirimku bunga mawar ini?”
            Dokter Karel tersenyum, “Iya.. kamu suka?”
            “Makasih dok, suka banget, tapi kenapa ya?” tanyaku polos.
            “Aku menyukaimu...”
            Sepi. Tak ada suara. Jantungku berdebar keras bak pacuan kuda. Apa yang harus kujawab? Aku bingung, dan bukankah dokter sudah memiliki kekasih?
            “Dokter... menyukaiku?” tanyaku setengah tak percaya dengan ragu-ragu takut salah ngomong.
            “Iya... Kara, aku menyukaimu, kamu mau kan jadi pacar dokter?”
            Air mataku tiba-tiba meleleh. Aku tidak tahu kenapa. Dan aku tak tahu harus menjawab apa.
            “Kara, kenapa kamu menangis?”
            Aku menggeleng, “Dokter kan sudah punya pacar...”
            “Hahahahaha.... Kara.. Kara.. jadi kamu pikir gosip selama ini benar? Enggak Kara, aku sudah putus kok sama dia udah lama...”
            “Oh ya?” aku tersenyum setengah tak percaya.
            “Jadi?”
            Aku mengangguk tanda setuju. Dan hari ini pun kami resmi pacaran. Sejarah akan mencatatnya.  Aku bahagia sekali. Akhirnya dokter Karel, dokter paling ganteng itu menjadi milikku. Nanti kalau aku sudah keluar dari rumah sakit ini, akan aku pamerkan ke teman-temanku.
            Dan seperti kemarin, sesuatu itu kembali mengamati kedua insan yang baru saja menjadi sepasang kekasih. Dan tiba-tiba menghilang.
***
            Malam ini, aku ingin ke kamar mandi, dengan tanpa kursi roda aku berjalan menuju kamar mandi. Ibuku terlihat sudah tidur nyenyak di sofa. Ya, seperti biasa beliau pasti kelelahan.
            Saat kumasuk ke kamar mandi. Perasaanku aneh. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Kuberanikan saja masuk ke kamar mandi itu. Aku mulai membuka keran wastafel itu, dan aku tertegun. Darah. aku mengucek-ucek mataku. Dan persis seperti di mimpiku...
            “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrggggggttttt!!!!!” teriakku sambil menutup mataku.
            Kali ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Nafasku tersenggal-senggal. Ada sesuatu yang menyentuh bahuku.
            “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrggggttttt!!!!!” kembali aku berteriak ketakutan.
            “Ada apa Ra???” tanya seseorang. Ya, suara itu suara ibuku. Kubuka mataku dan segera kupeluk ibuku.
            “Ibu... aku takuuut bu...” teriakku dengan jantung berdebar-debar. Tapi tiba-tiba aku menemukan sesuatu yang aneh. Rambut ibuku kok panjang?padahal rambut ibuku hanya sebahu. Dan bajunya kok jadi putih seperti gamis?
            “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrgtttttt!!!!!” aku lepas pelukan makhluk yang berwajah rusak itu. Aku berlari keluar kamar mandi.
            Ibuku terbangun dari sofa dan mengejarku. Tapi, kali ini aku benar-benar waspada. Aku takut kalau-kalau ibuku itu hanya ibu jadi-jadian.
            “Kara... ada apa nak? Kamu kenapa?”
            Aku terdiam sejenak. Kuatur nafasku. Kulihat ibuku benar-benar seraya memastikan bahwa yang di depanku kali ini ibuku asli. Aku takut sekali.
            “Ibu?” tanyaku dengan nafas tersenggal-senggal.
            “Iya ini ibu nak, ada apa Ra? Kenapa teriak-teriak jam segini?”
            “Ada hantu Bu di rumah sakit ini...” aku menangis.
            “Hantu? Hanya halusinasimu saja mungkin Ra, ayo tidurlah...”
            “Enggak Bu, ini nyata, awalnya memang hanya mimpi, tapi mimpi itu jadi kenyataan Bu... aku mau pulang Bu sekarang!” aku langsung mengambil tasku dan mengemasi barang-barangku.
            “Jam segini udah nggak ada taksi Ra, tunggulah sampai besok pagi. Ya?”
            “Tapi aku takut tidur, Bu....” kataku masih berlinangan air mata.
            “Kita tidur di Mushola rumah sakit saja yuk, sambil sholat tahajjud...”
            Aku pun mengangguk.
***
            Tadi malam, aku bermimpi aneh. Aku masuk ke ruangan yang aneh. Di tembok ruangan tersebut ada tulisan-tulisan ‘Dara’ banyak sekali. Aku tak tahu maksudnya. Dan kini, aku sudah bertekad bulat untuk pulang ke rumah. Aku tak mau tahu. Aku sudah tak ingin menginjakkan kaki di rumah sakit ini. Aku takut.
            Aku berpamitan dengan dokter Dahlia, suster Marsha dan kekasihku dokter Karel. Mereka sudah membolehkanku pulang hari ini. Aku dan ibuku pun segera pulang ke rumah.
            Sampai di rumah, aku bertemu dengan teman-temanku. Ada sahabatku Nindi dan Tia. Sebenarnya mereka lah yang sering menemaniku di rumah sakit pasca operasi.
            “Ciyeeeh, yang habis jadian, baru cerita sekarang...” kata Nindi.
            “Hehehehee...”aku tertawa malu-malu.
            “Dokter Karel yang ganteng itu? Yang sebelum operasi menyuapimu? dia dulu pacarnya temanku lho, tapi mungkin udah putus,” celetuk Tia tiba-tiba.
            “Iya kah? Temanmu yang mana? Siapa namanya?”
            “Dara... temanku waktu SMP.” Kata Tia.
            Deg, jantungku tiba-tiba berdebar. Ada apa dengan nama itu? Nama itu serasa tidak asing.
            Tiba-tiba ponselku berdering. Di layar ponsel tertera nama suster Marsha. Segera kubaca smsnya: Kara, nama pendonormu adalah Dara, maaf ya baru memberitahumu sekarang, kemarin lupa...
            Deg, jantungku kembali berdebar untuk yang kedua kalinya, Dara, Dara, Dara.... apakah ada hubungannya Dara mantan kekasih dokter Karel dengan Dara si pendonor jantungku ?
            Tiba-tiba ponsel Tia berdering. Tia segera mengangkatnya, sementara itu aku masih sibuk dengan nama Dara. Jantungku berdebar sangat kencang, bulu kudukku berdiri lagi.
            “Apa ? Dara meninggal dunia seminggu yang lalu karena kecelakaan?” suara Tia melengking di telingaku.
            Deg. Deg. Deg. Sekelebat sosok wanita berdiri tepat satu meter di depanku. Melototiku. DARA!
            “AAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRRRGGGGGTTTTT!!!!!!!”
***

07-07-2012

            “Dara, maafkan aku...”
            “Apa gara-gara gadis itu? Pasienmu itu?”
            “Iya, aku sayang sama kamu, tapi aku lebih menyayangi pasienku, maafkan aku, aku tak ingin membohongi perasaanku sendiri, aku tersiksa harus pura-pura masih mencintaimu, maafkan aku Dara...”
            Seketika, air mata gadis itu menetes. Ia tak tahan dengan apa yang dikatakan kekasihnya yang sangat ia cintai itu. Ia tak tahu harus menjawab apa. Hatinya serasa disayat-sayat belati.
            Gadis itu mengangguk. “Ya... ya.. a.. ku.. meng.. mengerti...” gadis itu lalu berlari ke jalan raya. Namun tak disangka, sebuah mobil dari arah lain melaju kencang dan menabraknya.
            “Daraaaaaa......”
***

08-17-2012
            “Dokter, saya sudah mendapatkan jantung yang cocok untuk Kara...”
***
END—

0 komentar:

Posting Komentar